Senin, 12 Mei 2008

Kesunyian di Persimpangan Budaya

Oleh Eva Dwi Kurniawan[1]

Entah bagaimana saya harus menceritakan sejarah kepenulisan saya. Saya bingung, mulai darimanakah saya harus bercerita? Namun, lebih baik saya bercerita sebatas apa yang saya ingat dan rasakan. Karena begitulah saya, saya hanya menulis dari apa yang saya rasakan. Dan tentu saja, apa yang saya rasakan ialah apa yang saya pikirkan dan renungkan (kontemplasi).
Mulanya, saya tidak tahu bahwa akhirnya saya terjebak di dunia kata, dunia sastra. Karena pada awalnya saya lebih suka untuk menggambar. Dan beberapa karya lukisan saya pun berhasil di pamerkanan di tingkat Kabupaten. Namun, saya lupa, dalam acara apa lukisan-lukisan saya itu dipamerkan. O iya, saya ingat! Ketika ada acara perlombaan siswa teladan dan Exspo (pameran) Pariwisata di kota Bangkalan. Dan yah, sebagai anak yang berusia belasan tahun, dipamaerkannya karya lukisan saya itu sangat membanggakan.
Saya pun sempat berfikir, mungkinkah bidang kesenian ini (melukis) yang harus saya geluti? Karena sejak SD pun saya selalu ditunjuk untuk mengikuti berbagai ajang lomba menggambar, meskipun tidak pernah mendapat juara, hanya sebatas juara kampung saja yang pernah saya raih he.he.he.
Di tengah saya menseriusi dunia warna, bidang dan garis (melukis), saya dibenturkan pada sebuah pertayaan yang sangat mengganggu pikiran saya. Pun hingga saat ini. “Bagaimanakah hukum lukisan dalam agama saya?” pertayaan-pertayaan itulah yang selalu menghantui hari-hari saya sehingga untuk beberapa tahun saya tidak produktif lagi untuk menggambar. Tidak lain dan tidak bukan, seakan ada ketakutan yang terdapat dalam diri saya. Saya takut, menggambar itu dikutuk Tuhan!
Akhirnya, saya bertanya kepada seorang perupa muda, Mas Eko Nugroho, pegiat komik Daging Tumbuh yang tinggal di Jogja. Ketika saya ajukan pertayaan-pertayaan yang menghantui pikiran-pikiran saya itu, Mas Eko hanya menjawab, “Inilah yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya diberi karunia Tuhan untuk bisa menggambar. Kalau saya tidak memanfaatkan karunia Tuhan ini, berarti saya termasuk orang yang tidak pandai bersyukur!” Begitulah yang terekam dalam memori saya. Namun, jawaban itu hanya sekilas saja dapat menenangkan pikiran saya yang berkecambuk. Saya pun berusaha untuk menenangkan keresahan-keresahan itu. Berbagai literatur pun saya kumpulkan untuk menenangkan. Namun, pikiran saya itu sejenak tenang, kemudian kembali berkecamuk. Pun hingga saat ini, keinginan-keinginan saya untuk menggambar masih diwarnai petarungan batin yang dahsyat. Padahal, terus terang, saya lebih banyak mengenal perupa dan pelukis. Sebut saja, kritikus dan kurator senirupa Suwarno Wisetrotomo dan Arif Bagus Prasetyo, kolektor senirupa dr. Oei Hong Djien, perupa Nyoman Nuarta, Dolora Sinaga, Kana, dan beberapa perupa lainnya yang tidak dapat saya sebut semua.
Begitulah, saya merasa, dunia warna, bidang, dan garis memang menjadi dunia yang asyik. Saya pun jadi teringat dengan pameran instalasi yang pernah saya buat ketika masih SLTP. Semakin saya mengingat, semakin bingung saya dengan diri saya sendiri. Saya tidak menyangka, ide-ide yang saya keluarkan dalam pameran instlasi itu begitu mengangumkan. Bagaimana tidak, saya mendapat apresiasi yang paling bagus dari para dewan guru yang sedang menyaksikan pameran instalasi karya saya.
Sebenarnya, tidak sekadar dunia warna, ruang, dan garis yang menjerat saya ke dalam kegelisahan-kegelisahan yang tidak pernah terobati. Dunia teater pun juga pernah saya geluti. Dan tak ayal, berbagai pementasan pernah saya lakukan. Dan pementasan yang paling berkesan bagi saya ialah ketika saya pentas di hadapan Bupati Bangkalan dan mendapat honor 15 ribu rupiah. Namun, bukan materiallah yang membuat saya sedikit tersenyum puas, namun tepuk tangan dan apresiasi dahysat yang sedang menonton pemaentasan saya itulah yang membuat saya untuk selalu bisa terseyum puas. Meski hanya untuk sesaat. Kepuasan lain yang pernah saya rasakan ialah ketika saya sedang meminpin sebuah pementasan untuk mengikuti perlombaan teater. Dari penyusunan cerita, skenario, sutradara, dan pemain, sayalah yang berperan. Dan yang membuat saya terkesan ialah karena teman-teman yang bermaian dalam pemantasan saya sangat memahami apa yang saya inginkan. Alhasil kami pun mendapat juara. Namun lagi-lagi, pikiran-pikiran saya yang meresahkan kembali muncul. “Bagaimanakah hukum bermain teater dalam agama saya?” Begitulah, pertayaan-pertayaan ini selalu menghantui saya. Entah sampai kapan!
Begitu juga dengan dunia musik yang juga pernah meyeret saya ke dalam kegelisahan lain. Padahal, sudah banyak hal yang saya curahkan untuk dunia musik. Dari mengikuti berbagai festival musik hingga menciptakan lagu sendiri. Semuanya pernah saya lakukan. Dan tak ayal, keseriusan saya dalam bermusik pernah membuat saya membolos sekolah hanya sekadar untuk membeli sebuah gitar. Masih saya ingat kapan itu, yakni ketika saya masih kelas 1 SLTP. Begitulah, saya memang suka bermain dan mendengarkan musik. Namun, lagi-lagi, pertanyaan-pertayaan, “ bagaimanakah hukum bermusik dalam agama saya?” selalu berkecambuk. Hingga saat ini. Dan tak ayal, sejak beberapa tahun terakhir ini, saya tidak lagi bersentuhan dengan studio musik. Padahal, sebelumnya, hampir tiga minggu sekali saya mengunjungi studio musik untuk sekadar latihan.
Begitulah, berbagai kecamuk pikiran yang selalu mengiringi dunia kesenian saya. Hingga akhirnya, saya berkenalan dengan Mas Timur Budi Raja untuk mencoba menggeluti dunia kata. Awalnya, pikiran serupa pun juga mewarnai langkah saya untuk menulis dan berkarya dalam dunia sastra. “Bagiamakah stastus penyair di hadapan Tuhan yang saya yakini?” begitulah pertayaan yang muncul dalam benak saya. Dan hampir dua tahun lamanya saya mencari jawaban dari pertayaan itu.
Pertayaan yang muncul dalam benak saya itu tidak terlepas dari sebuah ayat dalam Al Quran, yakni surat Asysyu’ara (26) ayat 224—226. Ayat tersebut menjelaskan bahwa, dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (224). Tidaklah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah (225). Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? (226). Membaca ayat itu, bergetarlah hati saya, keluarlah keringat dingin yang entah darimana datangnya, tak terundang pula. Saya mengira, ayat itulah yang tidak memperbolehkan dunia kepenulisan/kepeyairan. Tiada alasan lain yang dapat saya pahami selain memang, dalam karya sastra terdapat imajinasi, dan imajinasi inilah yang saya kira sebuah kebohongan dan disindir dalam ayat tersebut.
Hingga pada akhirnya, saya mulai mendapat pencerahan ketika seorang ustad memberi penjelasan tentang pertayaan saya itu. Ustad Iskandar namanya yang tidak lain dantidakn bukan ialah guru SMA saya. Ustad itu mencoba memberi pencerahan dengan menggunakan sebuah ayat juga. Yang beliau gunakan ialah kelanjutan surat Asysyu’ara yang membuat saya gelisah itu, yakni ayat ke 227. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa, kecuali orang-orang (peyair-peyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali (227). Dari penjelasan yang diberikan oleh seorang ustad, saya seakan mendapat pencerahan bahwa tidak semuanya peyair-peyair itu sesat karena dari sekian peyair, pasti ada peyair yang beriman kepada Tuhannya. Begitulah!
Setahun setalah saya mendapat pencerahan, saya mendapat takdir yang dapat dikatakan merubah jalan hidup saya dalam berkesenian. Sebuah undangan dari majalah sastra Horison untuk mengikuti acara kepenulisan di pondok pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, Madura. Di acara itulah kali pertama saya mengenal sastrawan nasional, D. Zawawi Imron, Jamal D.Rachman, dan perancang sampul majalah Horison kala itu, yakni Hery Dim. Sejak mengikuti pelatihan yang dapat saya katakan sebagai mengenal sastra berbasis religus itulah saya seakan menjadi orang yang berbeda. Ya, berbeda. Saya baru sadar bahwa saya memiliki kemampuan untuk menulis! Meskipun saya sadar, tulisan-tulisan saya masih belum sebaik dan sebagus penulis profesional. Dan itulah yang kemudian hingga saat ini terus saya kembangkan. Semirip apa yang dikatan Mas Eko, saya pun berkomentar, “Tuhan telah memberikan nilai lebih kepada saya berupa kemampuan untuk menulis. Sudah seharusnyalah saya bersyukur dan menjaga amanah Tuhan ini dengan tetap dan selalu menulis!” begitulah suara hati saya terus berkoar.
Pencerahan kedua yang saya dapatkan dalam menggeluti dunia kata ialah ketika sudah berada di bangku kuliah. Jika kegelisahan yang saya rasakan dari surat asysyu’ara karena adanya teks tersirat yang menyebutkan bahwa penyair ialah tukang bohong karena terlalu berimajinasi, maka sejak kuliahlah saya telah menemukan sendiri ‘antitesa’ dari teks tersebut. Bagi saya, seorang pesair/sastrawan bukanlah tukang bohong jika tukang bohong ini disamakan dengan fantasi/imajinasi. Saya lebih sepakat dengan apa yang dikatakan Radar Panca Dahana bahwa imajinasi itu bukanlah dusta, akan tetapi sebuah kebenaran,yakni kebenaran bahwa manusia memiliki imanjinasi/fantasi. Bukankah semakin mendustakan jika mengatakan bahwa manusia tidak memiliki imajinasi/fanstasi? Dan yah, semakin semangat saja saya masuk ke dalam belantara sastra.
Sebenarnya, seperti penulis pemula lainnya, banyak aral yang saya alami dalam dunia kepenulisan. Masih teringat jelas dalam memori saya bagaimana ketika itu saya dicibir oleh ayah ketika saya memberitahukan kepada beliau sebuah buku yang saya buat. Beliau malah berkata, “kurang gawean!” Begitulah, ayah saya mengatakan dengan suara ketus dan ‘meyakitkan’. “Ach, mungkin ayah sibuk sehingga tidak menghiraukan ucapan dan buku yang saya tunjukkan kepada beliau” pikir saya. Karena memang, saya menunjukkan hasil karya itu tidak pada waktu yang pas. Ayah saya sedang sibuk mengurus tumpukan berkas-berkas. Entah berkas apa saja yang dikerjakannya itu. Saya ingat, waktu itu saya baru kelas 1 SMA, setelah mendapat pencerahan pertama. Dan baru ketika buku pertama saya itu dimuat di majalah Horison dan mendapat honor 50 ribu rupiah untuk satu puisi, keluarga saya pun berubah sikap terhadap apa yang selama ini mereka perkirakan. Terlebih setelah mereka mengetahui bahwa majalah Horison ialah majalah sastra kaliber nasional. Semenjak itulah saya selalu menulis dan mengirimkan karya-karya ke Horison. Dan saya bersyukur karena setiap saya mengirim karya, selalu dimuat. Dan yang lebih menyenagkan ialah ketika puisi-puisi saya yang dimuat itu disisipi lembar MAESTRA, yakni lembar sastra Horison yang memuat penulis-penulis di wilayah ASEAN. Yah, begitulah, berawal dari cibiran menghasilkan ‘pengagungan’.
Memang, dan saya akui, karya-karya saya terlalu sederhana. Tapi kesederhanaan itulah yang nantinnya ingin saya tampilkan. Bahwasanya melalui hal yang sederhanalah, ‘keajaiban’ itu muncul. Dan tak ayal, saya sering dikejutkan dengan karya-karya saya yang dimuat di beberapa media. Keterkejutan saya ialah karena malah karya saya yang sederhanalah yang dipilih redaksi. Dan dari keserhanaan itulah saya bisa bebas berkreasi tanpa mempedulikan ‘hingar-bingar’ orang lain yang berkomentar miring. Karena memang, berbagai tanggapan miring tentang diri dan karya sering saya dapatkan. Baik secara terang-terangan maupun di balik ‘wajah’ saya. Lalu bagiamanakah sikap saya?
Saya hanya bisa menulis. Sebuah karunia Tuhan yang patut dijaga dan dikembangkan. Karena itu, segala keluh kesah saya hadirkan dalam bentuk tulisan. Selain itu, saya sudah terbiasa dalam kehidupan yang asing dan diasingkan. Begitulah saya. Sebuah kehidupan yang menyesakkan.
Masih teringat dalam kenangan masa kanak saya yang begitu dramatis. Saya pernah dikucilkan oleh teman-teman karena dianggap bukan dari etnis mereka. Juga pernah saya dapatkan seorang teman dengan terang-terangan mengatakan kepada saya, “dasar orang J...!”. Saya pun hanya diam. Saya tidak layak menyalahkan mereka karena tentu, mereka punya alasan sendiri mengatakan demikian. Dan saya pun menjadi asing dan terasing jika harus bergaul dengan teman-teman sebaya saya. Saya tidak tahu, harus memposisikan di mana saya ini. Saya selalu dianggap sebagai yang lain oleh mereka. Maka, jadilah saya memiliki pergaulan yang berbatas.
Pada masa kanak saya, saya hanya bermain dengan teman sebaya yang juga berasal dari etnis lain. Karena bagaimanapun juga, saya sudah merasakan cultural shock di tempat saya dilahirkan. Sungguh, cerita ironis, pikir saya. Dan tak ayal di masa kepenulisan saya, tema-tema tentang kenangan masa kanak menjadi kental. Saya seakan menjadi pemimpi untuk diterima dalam kelompok bermain oleh teman-teman sebaya saya. Karena terkadang, di masa kanak saya, saya tidak bisa bermain dengan leluasa seperti teman-teman sebaya. Terkadang, saya hanya bermain di dalam rumah, padahal, di luar rumah, suara hingar dan tawa teman-teman begitu menggoda saya untuk bisa dan ikut bergabung. Tapi, yah begitulah, saya menjadi orang asing jika bergaul dengan mereka. Diasingkan!.
Hingga saat ini juga, ketika saya berada di luar pulau kelahiran, saya sering dicap sebagai etnis yang di tempat kelahiran saya sendiri tidak pernah di cap demikian. Begitulah, di tempat saya lahir, saya dicap sebagai etnis J...., tapi diluar tempat kelahiran, saya di cap sebagai etnis M... Tentu saja hal ini terkadang mengganggu kehidupan saya. Dan tak ayal, juga dalam perkuliahan. Karena bagaimanapun juga, ada beberapa pengajar yang cenderung bersikap rasis sehingga saya sering mendapat perlakuan yang ganjil, saya merasa. Tapi, semoga tidak!
Dan dalam keterasingan itu, saya semakin menjiwai puisi Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta. Puisi-puisi itu seakan menceritakan saya yang /bosan dengan penat/eyah saja kau pekat/ aku ingin hingar/aku ingin di pasar/ mengapa tidak kau pecahkan saja gelasnya/ biar gaduh/biar semuanya mengaduh sampai gaduh. Begitulah, puisi itu seakan suara hati saya yang sering terasing.
Dan tak ayal, dalam karya-karya saya, nuansa mimpi-mimpi kebersamaan sering muncul. Nuansa kenangan, keinginan untuk memiliki seorang teman/sahabat, bisa diterima di semua tempat, hingga rasa tidak peduli dengan orang lain, sering mewarnai karya-karya saya. Dan saya, hanyalah manusia yang mencoba menuliskan perasaan saya itu. Karena bagaimanapun juga, perasaan manusia merupakan perasaan yang kolektif. Artinya, perasasan yang saya rasakan, pasti juga pernah dirasakan oleh orang lain.
Begitulah, saya tlah dibesarkan dalam keadaan terasing dan diasingkan. Menjadi sunyi sendiri di tengah dua latar beakang budaya yang berbeda. Sebagai pendatang, sekaligus penduduk asli. Jadi, saya pun terkadang bersikap masa bodohh. Tidak mempedulikan perkataan orang lain. Saya telah menjadi ‘tuli’ untuk mendengar ocehan orang lain yang tidak penting. Dan dibalik kemasabodohhan saya itulah, saya berani untuk menerbitkan buku-buku saya secara independen. Karena bagaimanapun juga, saya ialah manusia bebas. Dan tentu, sebagai manusia bebas, saya mengerti aturan!
Dan satu hal, saya selalu mendoakan semua ucapan yang mencoba ‘menyudutkan’ dan ‘mengasingkan’ saya. Saya mendoakan supaya ucapan yang mereka lontarkan, tidak kembali kepada mereka sendiri. Karena saya berkeyakinan, hukum balasan merupakan hukum alam, hukum Tuhan. Jadi, saya terkadang merasa kasihan kepada mereka yang mencoba mengasingkan saya. Sudah siapkah mereka diasingkan tanpa memiliki pengalaman terasing dan diasingkan? Semoga tidak. Tabik!.



Surabaya, 3 Oktober 2007
[1] Mahasiswa Sastra Indonesia 2004 JBSI FBS Unesa.